Selasa, 26 Juni 2018
Jumat, 01 Juni 2018
Teori Labelling
Histori
Teori labelling
Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada
seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang
dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita
cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada
perilakunya satu per satu. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/
pemberian cap. Pandangan baik secara formal maupun informal terhadap kenakalan
dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pelaku penyimpang tersebut yang
selanjutnya berbagai penelitian dilakukan pada awal abad 90. Salah satu karya
dari Frederick Thrasher yang peneliti geng remaja kelas bawah di Chicago pada
tahun 1927 yang hasilnya bahwa pelabelan resmi dapat mempengaruhi perilaku
seseorang untuk berperilaku sesuai dengan apa yang dilabelkan atau dijuluki.
Beberapa tahun kemudian, Frank Tannenbaum (1938) yang memperkenalkan istilah
dramatisasi kejahatan yang dimana ia berpendapat bahwa secara resmi melabeli
seseorang sebagai penjahat dapat mengakibatkan orang menjadi yang ia gambarkan.
Kemudian dari Edwin Lemert (1951) mengembangkan konsep penyimpangan primer dan
sekunder. Kemudian terdapat katya dari Charles Horton Coley dan George Herbert
Mead yang mengkaji penyimpangan Labelling menurut pandangan sosiologi yang mana
kedua konsep ini menekankan pentingnya interaksi sosial dalam pengembangan
perasaan diri dan identitas sosial.
Ketertarikan pada teori labeling tidak aktif selama tahun 1950 an,
karena terdapat struktur lain yang dapat menjelaskan kenakalan, namun ada
ketidakpuasan yang meningkat terhadap teori teori sebelumya dan semakin
besarnya kesadaran akan kenakalan yang mendorong para kriminolog untuk kembali
ke pandangan sebelumnya yang lebih mencakup untuk mencari penyebab pasti dari
penyimpangan seseorang.
Asumsi
Umum dari Teori Labelling
Menurut Lemert, Toeri Labelling adalah
penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/label atau julukan dari
masyarakat kepada seseorang yang kemudia membentuk konsep diri atau gambaran
diri seseorang tersebut yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan
yang sudah dijuluki oleh masyarakat terhadap dirinya. Menurut perspektif
labelling bahwa citra diri yang negatif atau nakal akan diikuti oleh tindakan
penyimpangan berikutnya. Jadi menurut pandangan labeling seseorang menjadi
penyimpang resmi karena seseorang tersebut telah dicap atau dilabelkan negatif
terlebih dahulu yang kemudian akan membentuk pribadinya sesuai dengan label
tersebut.
Asumsi lain juga mengatakan bahwa
proses labeling juga dilihat dari beberapa kriteria di antaranya seperti, usia
pelaku, jenis kelamin, ras, kelas sosial serta norma norma organisasi dari
lembaga dan departemen resmi.
Konsep dalam teori
Labeling
Pada bab ini
berfokus pada 2 asumsi :
- Efek pelabelan pada
citra diri.
- Tingkah laku yang
nakal dari pemberian label.
Tokoh dalam
konsep ini ada 2 yaitu : Lemert dan Howard Becker
Lemert memiliki 2 konsep :
1. Penyimpangan
Primer
Adalah
penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang akan tetapi si pelaku masih diakui
atau diterima oleh masyarakat.
Contohnya dalam
kehidupan sehari-hari ialah : Pengemudi yang sesekali melanggar lalu lintas.
2. Penyimpangan
Sekunder
Aalah
penyimpangan yang dilakukan secara terus-menerus sehingga pelakunya dikenal
sebagai orang yang berperilaku menyimpang.
Contohnya dalam
kehidupan sehari-hari : Pencurian.
Lemert juga
melakukan diskusi mengenai pelabelan, akan tetapi ia berfokus pada reaksi
masyarakat. Lemert tidak melihat penyimpangan itu baik atau buruk, akan tetapi
ia melihat bagaimana reaksi masyarakat terhadap si pelaku yang melakukan
perilaku menyimpang. Disamping itu, Lemert memberikan sebutan khusus untuk
perilaku menyimpang dengan sebutan “sosiopatik”.
Lemert juga mengkonsepkan proses reaksi dari 2 sudut yaitu dari sudut
anggota masyarakat dan mereka yang melakukan penyimpangan. Dapat diketahui
bahwa masyarakat sangat penting sebagai agen kontrol sosial, disini Lemert
melihat peran dan tanggung atas pelabelan.
Howard Becker
Konsep 3
situasi perilaku menyimpang :
-
Deviant Murni
Adalah
pelanggar norma yang diakui oleh orang lain.
-
Deviant yang dituduh palsu
Adalah
pelanggar norma atau individu yang dituduh secara keliru.
-
Penyimpangan rahasia
Adalah
seseorang yang melanggar aturan atau hukum tetapi tidak diperhatikan.
Note : Deviant adalah
bentuk dari perilaku
Penyimpangan rahasia menurut Becker adalah sebuah perilaku yang “melanggar
aturan” tetapi tidak di respon oleh masyarakat. Penyimpangan rahasia adalah
perilaku yang kemungkinan besar merupakan penyimpangan jika di amati. Dalam penyimpangan rahasia ini di jelaskan
bagaimana sebuah penyimpangan rahasia menjadi perilaku menyimpang yang
merupakan hasil dari pelabelan. Dalam penyimpangan rahasia bisa di katakan
sebagai perilaku menyimpang jika berdampak tidak hanya pada aktor dan reaktor,
tetapi juga orang lain. Sebuah perilaku primer bisa berubah menjadi perilaku
menyimpang sekunder jika korban pelabelan bertemu dengan individu yang berlabel
sama lalu mempengaruhinya untuk melakukan penyimpangan kembali dengan lebih
besar dampaknya. Ada dua masalah besar yang terkait dengan teori pelabelan,yang
pertama adalah pengembangan dan penegakkan aturan dan undang-undang yang ke dua
adalah efek dari pelabelan.
Penelitian labeling dan konsep diri ini menggunakan
anak-anak remaja dan kelompok geng anak
remaja sebagai objek penelitiannya. Dalam konsep ini, Thrasher dan Tannenbaum
berpendapat bahwa terdapat hubungan antara konsep diri dan pelabelan yang
diberikan oleh masyarakat kepada remaja yang melanggar aturan. Selain itu,
menurut Matza anak-anak yang telah memiliki labeling
tadi mengembangkan sikap-sikap yang buruk kepada petugas kepolisian dan
pengadilan akibat adanya citra diri yg buruk. Dari penelitian ini dapat dilihat
bahwa terdapat hubungan antara pelabelan dan citra diri seseorang.
Selanjutnya, William Chambliss melakukan penelitian terhadap 2 kelompok geng remaja (kelas atas menyebut diri mereka geng orang suci atas dasar kedudukan kelas sosial dan kehormatan yg dimiliki dan kelas bawah menyebut diri mereka geng kasar dan sering berurusan dengan polisi). Karena kelompok geng orang suci mempunyai reputasi yang baik di masyarkat, maka perilaku kenakalan yang mereka lakukan ini cenderung dianggap "ini yang memang akan dilakukan anak laki-laki". Sebaliknya dengan kelompok geng kasar yang perilakunya dianggap "pembawa masalah". Anggota kelompok geng suci tidak pernah melihat diri mereka sebagai penjahat dan justru lebih pada anggapan melakukan suatu hal "kenakalan" demi kesenangan dan masyarakat masih melabelkan hal positif terhadap mereka, karena tidak ada korban dari hal yang mereka lakukan tersebut. Sedangkan kelompok geng kasar, sekecil apapun kenakalan yang mereka perbuat justru masyarakat semakin mencemooh.
Menurut Chambliss, karena dianggap memiliki citra buruk maka kelompok geng kasar ini semakin mencari orang yang memiliki nasib yang sama dengan mereka dan turut bergabung bersama. Ini akibat adanya pelabelan negatif terhadap citra diri anggota yang membuat beban bagi diri mereka sehingga mencari teman dengan nasib sama.
Inti penelitian kualitatif ini adalah terdapat bukti bahwa pelabelan memiliki kontribusi terhadap citra diri seseorang. Label kenakalan akan menghasilkan pribadi yg nakal pula.
Jack Foster dkk selanjutnya melakukan penelitian kuantitatif, dengan 196 remaja laki-laki di Amerika yg telah ditangkap dan dirujuk ke pengadilan anak. Mereka merasa tidak ada perubahan hubungan antar orangtua dan keluarga mereka di rumah. 90% dari mereka merasa sekolahnya pun akan lancar-lancar saja. 40% merasa peluang pekerjaan upah tinggi mungkin telah melayang bagi mereka akibat adanya catatan kenakalan.
Selanjutnya, William Chambliss melakukan penelitian terhadap 2 kelompok geng remaja (kelas atas menyebut diri mereka geng orang suci atas dasar kedudukan kelas sosial dan kehormatan yg dimiliki dan kelas bawah menyebut diri mereka geng kasar dan sering berurusan dengan polisi). Karena kelompok geng orang suci mempunyai reputasi yang baik di masyarkat, maka perilaku kenakalan yang mereka lakukan ini cenderung dianggap "ini yang memang akan dilakukan anak laki-laki". Sebaliknya dengan kelompok geng kasar yang perilakunya dianggap "pembawa masalah". Anggota kelompok geng suci tidak pernah melihat diri mereka sebagai penjahat dan justru lebih pada anggapan melakukan suatu hal "kenakalan" demi kesenangan dan masyarakat masih melabelkan hal positif terhadap mereka, karena tidak ada korban dari hal yang mereka lakukan tersebut. Sedangkan kelompok geng kasar, sekecil apapun kenakalan yang mereka perbuat justru masyarakat semakin mencemooh.
Menurut Chambliss, karena dianggap memiliki citra buruk maka kelompok geng kasar ini semakin mencari orang yang memiliki nasib yang sama dengan mereka dan turut bergabung bersama. Ini akibat adanya pelabelan negatif terhadap citra diri anggota yang membuat beban bagi diri mereka sehingga mencari teman dengan nasib sama.
Inti penelitian kualitatif ini adalah terdapat bukti bahwa pelabelan memiliki kontribusi terhadap citra diri seseorang. Label kenakalan akan menghasilkan pribadi yg nakal pula.
Jack Foster dkk selanjutnya melakukan penelitian kuantitatif, dengan 196 remaja laki-laki di Amerika yg telah ditangkap dan dirujuk ke pengadilan anak. Mereka merasa tidak ada perubahan hubungan antar orangtua dan keluarga mereka di rumah. 90% dari mereka merasa sekolahnya pun akan lancar-lancar saja. 40% merasa peluang pekerjaan upah tinggi mungkin telah melayang bagi mereka akibat adanya catatan kenakalan.
Studi penelitian mengenai konsep diri oleh
beberapa tokoh :
·
Studi foster yang sementara ini tidak secara khusus
membahas mengenai konsep diri. Hasilnya jelas terlihat karena tidak memberikan
dukungan kepada pernyataan bahwa tidak
dipengaruhi oleh label kenakalan formal. Penelitiannya lainnya menjelaskan
bagaimana label kenakalan formal ini tidak memiliki efek langsung pada konsep
diri.
·
Leonard Gibs yang membandingkan gambaran kenakalan dengan
tingkat harga diri. Dia mengemukakan bahwa penjahat resmi memandang diri mereka
lebih buruk setelah dipenjara daripada masih dalam proses pengadilan.
·
Jensen berasumsi bahwa identitas yang buruk tidak selalu
memiliki harga diri yang rendah. Jensen juga membandingkan harga diri dengan
kenakalan resmi berdasarkan ras ( kulit putih dan kulit hitam) dan kelas sosial
( atas, menengah, dan bawah) studi ini ada pada orang afrika- amerika.
Jensen menegaskan kembali kesimpulannya bahwa label resmi
itu lebih berdampak pada citra diri dan sikap mereka yang kurang banyak
terlibat dalam kenakalan. Masa depan dari penangkapan seeorang atau proses
pengadilan tidak mungkin memiliki dampak yang signifikan pada konsep diri
remaja, terutama dibandingkan dengan remaja yang dipenjara atau dikirim ke
pengadilan untuk yang pertama kalinya.
Hasil penelitian remaja reformatories tidak konsisten mengenai efek dari
penjara pada konsep diri dan sikap. Hasil penelitian remaja reformatories juga
menyimpulkan bahwa usia kenakalan adalah sekitar usia 16tahun. Saat ini
laki-laki diwakili hanya sebesar 18persen dari semua orang yang ditangkap.
Akibat dari kenakalan remaja ini harga untuk perempuan cenderung rendah.
Penelitian ini juga menyimpulkan penangkapan pada kenakalan remaja tidak
mengarah pada pencegahan. Menurut remaja reformatories pelabelan merupakan efek
resmi dari crimi-nality.
Deliquency ( orang yang melakukan kejahatan) sudah masuk kedalam
tahap kepolisian dan pengadilan akan menimbulkan kecurigaan masayarakat akan
tindakannya di masa mendatang.
Asumsi ini di dukung oleh Bishop (1996) yang melakukan penelitian
terhadap 2.700 pemuda laki-laki dengan prilaku menyimpang yang kasusnya
diteruskan ditahap kepolisian dan pengadilan, hasilnya mereka yang sudah bebas
menjalani hukuman dipenjara menjadi lebih nakal dibandingkan dengan kasus
penyimpangan yang ditidak masuk ke tahap penjara. Peningkatan Resividis ini di
dukung oleh beberapa faktor, yaitu:
1.
Mendapatkan
perlakuan tidak adail selama individu tersebut menjalani proses hokum di
penjara. Contohnya apparat yang semena-mena bukan menuntun pembinaan dengan
cara yang baik dan benar
2.
Adanya hubungan
yang saling mempengaruhi di penjara ( bisa hubungan baik atau buruk ).
Contohnya individu yang melakukan pencurian hp digabungkan dengan sel penjara
perampok bank kelas kakap maka di dalam sel tersebut individu bisa bertukar
informasi bagaimana cara mencuri dengan hasil yang besar.
Berikut
ini beberapa penelitian yang di lakukan oleh Matsueda dan kawan-kawan, dalam
membantu teori labeling.
1.
Matseuda
- Kenakalan remaja akan mengakibatkan
keterasingan orangtua pada anaknya, karena perilaku nakal yang dimiliki
anaknya.
- Orangtua yang melabelkan anaknya sebagai
anti sosial atau pembuat onar, maka hal tersebut yang menyebabkan
kenakalan di masa depan. Karena label
tesebut akan melemahkan hubungan anak dan orangtua.
2.
Heimer dan
Matsueda (1994)
- Dalam penelitian yang diambil dari data
survei pemuda nasional. Kesimpulannya adalah, pelapelan yang dilakukan
oleh orangtua, guru, bahkan orang-orang terdekat lainnya, akan menjadi
faktor tambahan atas tindak kejahatan dan kenkalan remaja. Karena anak
tersebut akan mengambil peran
sebagai orang yang berperilaku menyimpang atas pelabelan.
3.
Bartush dan
Matsueda (1996)
a.
Perilaku-perilaku
yang diambil atas pelabelan oranglain, bisa dipengaruhi oleh identitas gender terutama pada anak
laki-laki.
b.
Dampak negatif
dari pelabelan informal lebih menonjol di laki-laki daripada perempuan.
Terutama untuk laki-laki yang mengindetifikasi dirinya sebagai laki-laki.
Dimana dalam hal ini, anak laki-laki akan bertindak sebagaimana laki-laki,
ditambah labelling dari orangtua, bahwa anak laki-laki adalah pembuat onar.
Kesimpulan
Teori Pelabelan
Teori pelabelan hadir karena adanya ketidakpuassan dari para ahli
sosiolog dan kriminolog dalam mengkaji perilaku menyimpang. Dalam kajiannya
teori pelabelan ini melihat penyimpangan berdasarkan label yang diberikan
kepada pelaku. Dimana label ini menyimbulkan adanya hubungan identitas diri
dengan perilaku dari yang melakukan penyimpangan tersebut. Label yang diberikan
kepada pelaku hadir karena pelaku telah melakukan penyimpangan primer, bahkan
ada pula yang diberi label orang masyarakat karena berada pada kelompok yang
dipandang selalu menyimpang. Pelaku yang telah diberikan label tersebut
mengganggap dirinya telah buruk dimata luar maka pelaku ini bisa melakukan
penyimpangan yang lebih besar atau bisa dikatakan penyimpangan sekunder. Label
penyimpangan pada seseorang juga hadir karena adanya label resmi seperti dari
ras,etnis bahkan kelas sosial. Dimana orang dari kelas sosial bawah dianggap
lebih sering melakukan penyimpangan daripada orang dari kelas sosial atas.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Teori Sosiologi Perilaku Menyimpang Apa sih fungsi dari teori ini? Fungsinya ialah untuk menjawab sebab-sebab dari suatu peristiw...
-
Pertemuan ke 5 Penyimpangan tidak terlepas dari peran agen sosialisasi individu didalam masyarakat. Ada 2 faktor yang menyebabkan seseoran...